Blogger Widgets

Pages

Thursday, January 3, 2019

Petahana vs Oposisi

Jokowi cuma umbar janji. Jokowi gak pernah nepatin janji, pembohong, pendusta, dsb....

Prabowo gak pernah nawarin program. Prabowo orangnya pesimis, cuma bisa kritik pemerintah doang, dsb....

Itu sebagian kecil dari komentar² simpatisan non partai dari kedua kubu. Mereka bukan orang yang aktif dalam politik, sehingga mudah "terhasut" oleh elit² politik kedua kubu.

Padahal memang seperti itulah gaya kampanye yang dilakukan Jokowi sebagai petahana dan Prabowo sebagai oposisi.

Wajar bagi Jokowi untuk mengumbar janji atau bahasa harusnya rencana (semoga bukan sekadar wacana) program yang akan dilaksanakannya di période kedua.

Dan wajar bagi Prabowo mengumbar kritik tanpa adanya solusi atau program alternatif yang akan dilaksanakannya apabipa nanti terpilih.

Gaya kampanye kubu Prabowo sebagai oposisi adalah menebar ancaman berupa konsekuensi apabila ia tidak terpilih pada pemilu kali ini, salah satu contohnya yang paling dikenal terkait bubarnya Indonesia. Gaya seperti ini bagi simpatisan lawan tentu akan beranggapan bahwa Prabowo orangnya pesimis.

Sedangkan Jokowi, kesan yang dibangun adalah optimis. Kenapa begitu??? Ya karena saat ini dia yang berkuasa. Apabila dia ingin melanjutkan kepemimpinannya tentu dia harus membangun kesan positif dan sikap optimis dari apa yang sudah dia jalankan di periode pertama pemerintahannya.

Apakah oposisi sebaiknya tidak menawarkan program???

Kalau itu penulis pribadi kurang memahaminya, tapi yang jelas tingkat keefektifannya tidak akan sebaik ketika petahana mengkampanyekan programnya, karena apapun yang ditawarkan oposisi hanya sebatas teori semata, sedangkan apa yang ditawarkan petahana untuk periode selanjutnya umumnya dapat dicerminkan dari program² yang sudah dia laksanakan di periode pertama.

Salah satu contoh yang paling cocok dalam kasus ini adalah pilkada Jakarta, tepatnya putaran pertama. Salah satu calon dari pihak oposisi, sebut saja AHY, lebih banyak menawarkan program ketimbang mengkritisi program dari petahana. Hasilnya, justru banyak pengamat baik resmi maupun pengamat medsos yang mengkritik balik program yang ditawarkan AHY.

Sedangkan kubu Anies pada awalnya mengikuti cara AHY dengan menawarkan rencana program yang akan dilaksanakan, tapi pada putaran kedua mereka lebih banyak memilih untuk mengkritisi program (terutama kebijaka tidak populer) dan bahkan pribadi Ahok selaku petahana. Hasilnya oposisi meraih kemenangan terlepas adanya isu politik identitas selama pemilu DKI.

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah tidak ada yang suci dalam politik keduanya sama² ingin meraih kebiasaan. Boong besar mengatakan seorang yang sudah kaya rela terjun ke politik dan menghamburkan uang hanya demi rakyat, terkadang tahta atau kebiasaan jauh lebih prestisius ketimbang harta.

0 komentar:

Post a Comment

google advanced search

blogger

blogger
bloggerlogo

Followers

Search This Blog