Blogger Widgets

Pages

Saturday, June 14, 2014

Essay UAS Bahasa Indonesia



KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KEGIATAN AKADEMIK
 DI PERGURUAN TINGGI YANG MEMILIKI MASYARAKAT YANG CENDERUNG HOMOGEN
            Dalam kegiatan akademik di ruang lingkup perguruan tinggi kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek yang harus dipelajari dan diterapkan dalam kegiatan di perguruan tinggi baik yang bersifat akademik maupun yang bersifat non akademik. Dalam kegiatan akademik di perguruan tinggi baik kegiatan perkuliahan maupun kegiatan di luar perkuliahan menjadi sangat penting bagi seorang mahasiswa untuk memiliki kesantunan berbahasa yang baik.
Dalam KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang dimaksud dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
            Menurut Brown dan Levinson dalam Aisyah (2010) dalam teorinya menyatakan bahwa setiap orang, yang merupakan bagian dari angggota masyarakat dewasa dianggap mempunyai dua “muka”. Orang tersebut juga mengetahui bahwa seperti dia sendiri, orang lain pun punya dua muka yang harus dijaga. Muka adalah gambaran diri di mata publik yang dimiliki setiap orang untuk dirinya sendiri. Muka dapat berarti “hasrat yang mendasar” (basic wants). Ada dua muka, yang pertama adalah muka positif dan yang kedua adalah muka negatif. Muka positif adalah gambaran pribadi kita yang ingin dihargai dan diterima oleh orang lain. Kedua, muka negatif yaitu klaim dasar pada “wilayah kekuasaan pribadi”, hak yang tidak dapat digugat, kebebasan melakukan aksi dan kebebasan dari imposisi.
Tiga faktor sosial yang mempengaruhi ancaman muka adalah sebagai berikut:
1. Po (power) adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh penutur terhadap mitra tutur.
2. D (distance) adalah jarak hubungan interpersonal antara penutur dengan mitra tutur.
3. R(x) atauranking of impositionadalah tingkat pembebanan yang dimiliki suatu tuturan
            Dalam kegiatan di perguruan tinggi seringkali ditemukan kasus dimana penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan belum baik dan benar. Kasus ini seringkali ditemukan pada mahasiswa terutama mahasiswa baru. Seringkali mahasiswa menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan dalam kegiatan nonformal. Ada beberapa mahasiswa juga yang masih sering menggunakan bahasa daerah masing-masing. Hal ini seringkali terjadi mahasiswa lokal. Dalam hal ini mahasiswa lokal adalah mahasiswa yang berasal dari daerah tempat universitas tersebut. Hal ini terjadi pada universitas-universitas yang masyarakat di dalamnya cenderung homogen ataupun di dominasi suku tertentu. Dikarenakan banyaknya mahasiswa yang menggunakan bahasa daerah tersebut maka mahasiswa dari daerah cenderung tidak mau membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu ada beberapa mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu yang mempunyai aksen yang khas seperti suku Batak, suku Jawa dan suku-suku di Indonesia timur yang memang sulit dihilangkan.
            Di Universitas Brawijaya sendiri dikarenakan berada pada provinsi Jawa Timur membuat mahasiswanya banyak berasal dari suku Jawa baik yang memang tinggal di Pulau Jawa ataupun mereka yang tinggal di luar Pulau Jawa namun berasal dari suku Jawa dan terbiasa menggunakan bahasa Jawa di keluarganya. Hal ini membuat bahasa Jawa menjadi sangat kental di Universitas Brawijauya. Bahkan lama-kelamaan mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang orang Jawa lama kelamaan ikut memelajari dan menggunakan bahasa Jawa.
            Penggunaaan bahasa Jawa sendiri tidak menjadi masalah jika digunakan pada waktu dan tempat yang tepat yakni pada kegiatan-kegiatan nonformal. Namun hal ini akan menjadi masalah jika digunakan dalam kegiatan formal. Seringkali mahasiswa baik sengaja maupun tidak sengaja menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini dikarenakan mahasiswa tersebut tidak mengerti arti istilah tersebut dalam bahasa Indonesia. Hal ini menjadi miris jika melihat syarat suatu bahasa nasional yang harus dimengerti oleh seluruh masyarakat yang ada di Indonesia. Yang menjadi tambah miris lagi ada beberapa dosen yang menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa di bidang pertanian dalam menyampaikan kuliah. Beberapa istilah dalam bertanam padi yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
            Macul. Macul atau dalam bahasa indonesia adalah mencangkul, merupakan istilah umum yang digunakan untuk pengerjaan lahan dengan menggunakan cangkul. Dalam bahasa jawa cangkul adalah pacul. Namun macul jarang berkaitan dengan mananam padi karena identik dengan menggarap lahan dalam kondisi kering. Karena menggarap lahan dalam kondisi basah bisa lain istilah. Biasanya macul itu menggarap lahan di kebun, tegalan atau sawah yang hendak ditanami palawija. Istilahnya beda lagi kalau menyiapkan lahan untuk ditanami ubi jalar.
             Ngurit. Ngurit adalah istilah dalam menyiapkan bibit padi. Petani ngurit berarti petani menebar butir-butir padi di area persemaian yang telah disiapkan. Ngurit ini dilakukan beberapa minggu sebelum proses penggarapan lahan dimulai. Petani biasa menanam bibit padi antara 3-5 minggu sejak diurit.
             Ngkluku. Pekerjaan ini adalah membuka lahan dengan menggunakan luku. Luku adalah bajak dalam bahasa Jawa. Ngluku dikerjakan agar tanah berbalik sehingga tanah bisa bertukar posisi, terkena udara, dan mendapatkan sinar matahari. Ngluku dibantu dua ekor sapi atau kerbau, tergantung hewan apa yang tersedia di dareah masing-masing.
            Itu adalah sebagian kecil istilah bahasa Jawa dalam bidang Pertanian. Penggunaan bahasa menjadi tidak masalah jika bahasa tersebut memang tidak memiliki arti dalam bahasa Indonesia. Namun alangkah baiknya jika istilah tersebut dapat diganti dengan bahasa Indonesia agar dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di lingkungan kampus.
            Selain dari penggunaan bahasa Jawa dampak yang terlihat dari banyaknya  masyarakat Jawa adalah dari kesantunan berbahasa. Beberapa masyarakat Jawa ada yang beranggapan bahwa masyarakat di luar pulau Jawa kurang santun dalam berbahasa. Bahkan ada teman dari penulis yang juga merupakan mahasiswa fakultas pertanian Universitas Brawijaya yang mengatakan “Orang-orang di luar pulau Jawa memang kurang ramah”. Hal ini bisa disebabkan karena aksen Jawa yang memang lebih halus dan lembut dibandingkan orang-orang yang berada di luar pulau Jawa sehingga orang-orang beranggapan bahwa orang-orang di luar pulau Jawa tidak santun ataupun kurang ramah. Selain itu ada beberapa bahasa juga yang dianggap kasar oleh orang Jawa sudah biasa digunakan oleh orang nonJawa.
            Dari pemaparan di atas dapat saya simpulkan homogenitas di suatu masyarakat khususnya di perguruan tinggi memberikan dampak-dampak dalam kesantunan berbahasa yang. Ini bisa disebabkan oleh penggunaan bahasa daerah dan aksen dari masyarakat yang dominan maupun dari tingkat kesantunan berbahasa yang berbeda pada tiap daerah. Hal ini sulit ditemukan pada Universitas yang masyarakatnya cenderung heterogen seperti pada universitas-universitas di ibukota (Jakarta) seperti Universitas Indonesia. Berbeda dengan universitas yang masyarakatnya cenderung homogen seperti di Jawa Timur contohnya  Universitas Brawijaya yang cenderung didominasi masyarakat Jawa. Meskipun kadangkala ada beberapa universitas yang tidak mau mengakui adanya dominasi “putra daerah” di universitas tersebut. Alangkah baiknya bagi mahasiswa maupun dosen  untuk mulai membiasakan diri menghilangkan bahasa daerahnya ketika berada dalam lingkungan formal untuk menghargai masyarakat dari daerah lain dan terciptanya kesantunan berbahasa yang setara.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Syaja’atul. 2010. PERUBAHAN STRATEGI KESANTUNAN DALAM BAHASA INGGRIS DAN BAHASA INDONESIA PADA TUTURAN TOKOH CERPEN ‘ARWAH KUPU-KUPU’ DAN TERJEMAHANNYA. Program Strata 1 Ilmu Sastra Inggris. Universitas Diponegoro. Semarang
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press
 

google advanced search

blogger

blogger
bloggerlogo

Followers

Search This Blog