KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KEGIATAN
AKADEMIK
DI PERGURUAN TINGGI YANG MEMILIKI MASYARAKAT
YANG CENDERUNG HOMOGEN
Dalam
kegiatan akademik di ruang lingkup perguruan tinggi kesantunan berbahasa
merupakan salah satu aspek yang harus dipelajari dan diterapkan dalam kegiatan
di perguruan tinggi baik yang bersifat akademik maupun yang bersifat non
akademik. Dalam kegiatan akademik di perguruan tinggi baik kegiatan perkuliahan
maupun kegiatan di luar perkuliahan menjadi sangat penting bagi seorang
mahasiswa untuk memiliki kesantunan berbahasa yang baik.
Dalam
KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang dimaksud dengan kesantunan adalah
kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Fraser dalam Gunarwan
(1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither
exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain
kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal
ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau
tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa
ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan
itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri.
Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada
suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun
oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak
terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu
dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah
ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si
penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur
memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Menurut Brown dan Levinson dalam
Aisyah (2010) dalam teorinya menyatakan bahwa setiap orang, yang merupakan
bagian dari angggota masyarakat dewasa dianggap mempunyai dua “muka”. Orang
tersebut juga mengetahui bahwa seperti dia sendiri, orang lain pun punya dua muka
yang harus dijaga. Muka adalah gambaran diri di mata publik yang dimiliki
setiap orang untuk dirinya sendiri. Muka dapat berarti “hasrat yang mendasar” (basic
wants). Ada dua muka, yang pertama adalah muka positif dan yang kedua adalah
muka negatif. Muka positif adalah gambaran pribadi kita yang ingin dihargai dan
diterima oleh orang lain. Kedua, muka negatif yaitu klaim dasar pada “wilayah
kekuasaan pribadi”, hak yang tidak dapat digugat, kebebasan melakukan aksi dan
kebebasan dari imposisi.
Tiga
faktor sosial yang mempengaruhi ancaman muka adalah sebagai berikut:
1.
Po (power) adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh penutur terhadap mitra
tutur.
2.
D (distance) adalah jarak hubungan interpersonal antara penutur dengan mitra
tutur.
3.
R(x) atauranking of impositionadalah tingkat pembebanan yang dimiliki suatu
tuturan
Dalam kegiatan di perguruan tinggi
seringkali ditemukan kasus dimana penggunaan bahasa baik secara lisan maupun
tulisan belum baik dan benar. Kasus ini seringkali ditemukan pada mahasiswa
terutama mahasiswa baru. Seringkali mahasiswa menggunakan bahasa sehari-hari
yang digunakan dalam kegiatan nonformal. Ada beberapa mahasiswa juga yang masih
sering menggunakan bahasa daerah masing-masing. Hal ini seringkali terjadi
mahasiswa lokal. Dalam hal ini mahasiswa lokal adalah mahasiswa yang berasal
dari daerah tempat universitas tersebut. Hal ini terjadi pada
universitas-universitas yang masyarakat di dalamnya cenderung homogen ataupun
di dominasi suku tertentu. Dikarenakan banyaknya mahasiswa yang menggunakan
bahasa daerah tersebut maka mahasiswa dari daerah cenderung tidak mau
membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu ada beberapa
mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu yang mempunyai aksen yang khas
seperti suku Batak, suku Jawa dan suku-suku di Indonesia timur yang memang
sulit dihilangkan.
Di Universitas Brawijaya sendiri
dikarenakan berada pada provinsi Jawa Timur membuat mahasiswanya banyak berasal
dari suku Jawa baik yang memang tinggal di Pulau Jawa ataupun mereka yang
tinggal di luar Pulau Jawa namun berasal dari suku Jawa dan terbiasa menggunakan
bahasa Jawa di keluarganya. Hal ini membuat bahasa Jawa menjadi sangat kental
di Universitas Brawijauya. Bahkan lama-kelamaan mahasiswa yang tidak memiliki
latar belakang orang Jawa lama kelamaan ikut memelajari dan menggunakan bahasa
Jawa.
Penggunaaan bahasa Jawa sendiri
tidak menjadi masalah jika digunakan pada waktu dan tempat yang tepat yakni
pada kegiatan-kegiatan nonformal. Namun hal ini akan menjadi masalah jika
digunakan dalam kegiatan formal. Seringkali mahasiswa baik sengaja maupun tidak
sengaja menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini dikarenakan
mahasiswa tersebut tidak mengerti arti istilah tersebut dalam bahasa Indonesia.
Hal ini menjadi miris jika melihat syarat suatu bahasa nasional yang harus
dimengerti oleh seluruh masyarakat yang ada di Indonesia. Yang menjadi tambah
miris lagi ada beberapa dosen yang menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa di
bidang pertanian dalam menyampaikan kuliah. Beberapa istilah dalam bertanam
padi yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
Macul.
Macul atau dalam bahasa indonesia adalah mencangkul, merupakan istilah umum
yang digunakan untuk pengerjaan lahan dengan menggunakan cangkul. Dalam bahasa
jawa cangkul adalah pacul. Namun macul jarang berkaitan dengan mananam padi
karena identik dengan menggarap lahan dalam kondisi kering. Karena menggarap
lahan dalam kondisi basah bisa lain istilah. Biasanya macul itu menggarap lahan
di kebun, tegalan atau sawah yang hendak ditanami palawija. Istilahnya beda
lagi kalau menyiapkan lahan untuk ditanami ubi jalar.
Ngurit. Ngurit adalah istilah dalam menyiapkan
bibit padi. Petani ngurit berarti petani menebar butir-butir padi di area
persemaian yang telah disiapkan. Ngurit ini dilakukan beberapa minggu sebelum
proses penggarapan lahan dimulai. Petani biasa menanam bibit padi antara 3-5
minggu sejak diurit.
Ngkluku. Pekerjaan ini adalah membuka lahan
dengan menggunakan luku. Luku adalah bajak dalam bahasa Jawa. Ngluku dikerjakan
agar tanah berbalik sehingga tanah bisa bertukar posisi, terkena udara, dan
mendapatkan sinar matahari. Ngluku dibantu dua ekor sapi atau kerbau,
tergantung hewan apa yang tersedia di dareah masing-masing.
Itu adalah sebagian kecil istilah
bahasa Jawa dalam bidang Pertanian. Penggunaan bahasa menjadi tidak masalah
jika bahasa tersebut memang tidak memiliki arti dalam bahasa Indonesia. Namun
alangkah baiknya jika istilah tersebut dapat diganti dengan bahasa Indonesia
agar dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di lingkungan kampus.
Selain dari penggunaan bahasa Jawa
dampak yang terlihat dari banyaknya
masyarakat Jawa adalah dari kesantunan berbahasa. Beberapa masyarakat
Jawa ada yang beranggapan bahwa masyarakat di luar pulau Jawa kurang santun
dalam berbahasa. Bahkan ada teman dari penulis yang juga merupakan mahasiswa
fakultas pertanian Universitas Brawijaya yang mengatakan “Orang-orang di luar
pulau Jawa memang kurang ramah”. Hal ini bisa disebabkan karena aksen Jawa yang
memang lebih halus dan lembut dibandingkan orang-orang yang berada di luar
pulau Jawa sehingga orang-orang beranggapan bahwa orang-orang di luar pulau
Jawa tidak santun ataupun kurang ramah. Selain itu ada beberapa bahasa juga
yang dianggap kasar oleh orang Jawa sudah biasa digunakan oleh orang nonJawa.
Dari pemaparan di atas dapat saya
simpulkan homogenitas di suatu masyarakat khususnya di perguruan tinggi
memberikan dampak-dampak dalam kesantunan berbahasa yang. Ini bisa disebabkan
oleh penggunaan bahasa daerah dan aksen dari masyarakat yang dominan maupun
dari tingkat kesantunan berbahasa yang berbeda pada tiap daerah. Hal ini sulit
ditemukan pada Universitas yang masyarakatnya cenderung heterogen seperti pada
universitas-universitas di ibukota (Jakarta) seperti Universitas Indonesia.
Berbeda dengan universitas yang masyarakatnya cenderung homogen seperti di Jawa
Timur contohnya Universitas Brawijaya
yang cenderung didominasi masyarakat Jawa. Meskipun kadangkala ada beberapa
universitas yang tidak mau mengakui adanya dominasi “putra daerah” di
universitas tersebut. Alangkah baiknya bagi mahasiswa maupun dosen untuk mulai membiasakan diri menghilangkan
bahasa daerahnya ketika berada dalam lingkungan formal untuk menghargai
masyarakat dari daerah lain dan terciptanya kesantunan berbahasa yang setara.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,
Syaja’atul. 2010. PERUBAHAN STRATEGI
KESANTUNAN DALAM BAHASA INGGRIS DAN BAHASA INDONESIA PADA TUTURAN TOKOH CERPEN
‘ARWAH KUPU-KUPU’ DAN TERJEMAHANNYA. Program Strata 1 Ilmu Sastra Inggris.
Universitas Diponegoro. Semarang
Gunarwan,
Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di
Jakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press