MAHASISWA
FAKULTAS FILSAFAT SEBAGAI OBJEK PENGAMATAN
Apa itu Filsafat?
Filsafat berasal dari kata “philosophia”. Perkataan ini berasal dari bahasa
Yunani yang berarti: “Cinta akan
kebijaksanaan” (love of wisdom). Menurut tradisi Pythagoras atau
Socrateslah yang pertama menyebut diri “philosophus”, yaitu sebagai protes
terhadap kaum “Sophist”, kaum terpelajar yang pada waktu itu yang menamakan
dirinya “bijaksana”, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu kebijaksanaan saja (Salam, 2012).
Dari pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan apakah
yang dimaksud kebijaksanaan? Kebijaksanaan menurut saya pribadi merupakan sikap
yang sempurna mengenai mengenai pengambilan keputusan dalam semua tindakan
sehingga tidak menimbulkan masalah dalam tindakan tersebut. Dari jawaban
tersebut muncul pertanyaan bagaimana cara mencapai kebijaksanaan?
Untuk jawabannnya kali ini saya akan menjadikan mahasiswa
filsafat khususnya mahasiswa baru sebagai objek pengamatan saya. Fakultas
filsafat sendiri merupakan tempat berkumpulnya para pencari kebijaksanaan. Pada tulisan ini saya ingin menganalisa apa
makna kebijaksanaan bagi mahasiswa filsafat dan apakah bagaimana cara mereka
menemukan “Jalan menuju kebijaksanaan” tersebut. Saya sengaja tidak menggunakan
kebijaksanaan karena bagi mahasiswa khususnya mahasiswa baru masih pada tahap
mencari “Jalan menuju kebiijaksanaan”. Banyak cara yang dilakukan mahasiswa filsafat
dalam mencari “Jalan menuju kebijaksanaan” mulai dari diskusi, membaca buku
filsafat hingga mengikuti seminar filsafat ataupun yang berhubungan dengan
filsafat. Ketika mahasiswa filsafat berdiskusi sering ditemukan hal yang
mungkin jarang ditemukan di diskusi fakultas lain yaitu adanya mahasiswa yang
mencoba mengkritisi jalannya diskusi setelah terjadinya diskusi bersama
teman-temannya seperti mendiskusikan jalannya diskusi yang melenceng dari jalur
dan banyak lagi lainnya. Itu hanya salah satu contoh dari cara unik mahasiswa
fakultas filsafat dalam mencari “Jalan menuju kebijaksanaan”. Saya akan
menjelaskan cara mahasiswa filsafat mencari “Jalan menuju kebijaksanaan” secara
garis besar.
Pertama, mahasiswa
filsafat yang suka mengkritisi sesuatu yang kritis, membijaksanakan sesuatu
yang bijaksana, mencari hakikat dari hakikat bahkan berfilsafat tentang
filsafat seperti halnya tukang bakso yang memakan baksonya sendiri. Saya
sendiri mengakui bahwa tulisan ini sendiri bisa dikatakan menjadi contoh dalam
kategori ini. Selain itu seperti yang dijelaskan sebelumnya mengenai mahasiswa
ketika setelah terjadinya suatu diskusi mencoba berdiskusi kecil dengan
temannya mengenai jalannya diskusi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan ciri
persoalan filsafat yang bersifat implikatif yang memunculkan masalah baru
melainkan berputar-putar pada masalah yang sama yaitu bagaimana diskusi yang
baik itu. Masalah yang mereka coba selesaikan tidak memunculkan baru melainkan
masalah yang itu-itu saja seolah-olah berputar dalam lingkaran setan yang tidak pernah selesai. Pada tulisan ini sendiri
mungkin saja akan ada orang yang mendebatkannya hingga terjadilah perdebatan
yang berputar-putar pada masalah yang sama.
Kedua, mahasiswa
filsafat yang “Kutu buku” dan suka menerapkan kata-kata filsuf ataupun
kata-kata dosen yang dianggapnya menarik baik dalam kegiatan perkuliahan, dalam
media social, memuatnya dalam tulisan ataupun ketika mencoba mengkritisi suatu
masalah. Ini tidak menjadi masalah apabila menggunakan bahasa-bahasa filsafat
tersebut kepada mahasiswa filsafat, dosen filsafat ataupun orang yang paham
akan bahasa tersebut tetapi apabila dia menggunakan bahasa tersebut kepada
orang yang tidak mengerti filsafat seperti halnya petani atau pedagang di pasar
tentu akan membingungkankan orang tersebut. Saya jadi ingat perkataan salah
satu dosen bahasa Indonesia di salah satu universitas negeri di Malang yang
berkata “Percuma kalian menulis skripsi apabila hanya dibaca oleh dosen, diri
anda sendiri dan adik tingkat yang kebetulan mencari referensi jika kalian
tidak bisa menerapkannya kepada masyarakat”. Beliau juga mengatakan mengenai
pentingnya menulis tulisan populer yang dapat dimengerti oleh semua orang. Hal ini hanya menjadi contoh buat mahasiswa
tipe ini agar tidak hanya mengerti tapi juga dapat menjelaskannya kepada orang
lain. Saya sendiri berpikiran mungkin yang disebut orang pintar itu bukan
orang-orang yang bisa menggunakan bahasa-bahasa ilmiah melainkan orang yang
bisa menerjemahkan bahasa ilmiah tersebut agar bisa dimengerti banyak orang.
Ketiga, mahasiswa
yang suka mengikuti seminar dan mahasiswa yang suka berorganisasi. Kedua cara
ini bisa dikatakn sama-sama merupakan kegiatan di luar kuliah bahka terkadang
di luar fakultas. Cara-cara ini juga tidak masalah apabila dilakukan diluar jam
kuliah tetapi jadi masalah apabila kegiatan ini sampai mengabaikan kuliah.
Memang kuliah tanpa organisasi ataupun kegiatan ekstra sama saja bohong dan
kegiatan-kegiatan tersebut akan menyempurnakan proses perkuliahan kita namun
jangan lupa bahwa itu hanyalah penyempurna bukan kegiatan pokok kita sebagai
mahasiswa. Kegiatan pokok mahasiswa dari dulu hingga saat ini adalah kuliah.
Jangan sampai kegiatan di luar kuliah akan membuat kita tidak masuk kuliah atau
tidak mengerjakan tugas. Hal ini bukannya membuat kita menemukan “Jalan menuju
kebijaksanaan” tapi malah semakin menjauhkan kita dari jalan tersebut karena
dengan cara ini mereka lupa tujuan mendasar mereka kuliah di fakultas filsafat
UGM.
Keempat, mahasiswa
filsafat yang berusaha tampil beda (anti mainstream). Ini bisa dikatakan
berbeda dengan cara-cara sebelumnya bahkan mungkin bukan sebuah cara mencari
“Jalan menuju kebijaksanaan”. Mahasiswa
seperti ini beranggapan apabila mereka berbeda dengan orang pada umumnya mereka
bisa dikatakan bijaksana. Sehingga ini lama-kelamaan menjadikan fakultas
filsafat berbeda dengan fakultas lain. Apabila di fakultas lain sulit menemukan
mahasiswa yang menggunakan kaos oblong di kampus maka di filsafat jangankan
pakai kaos oblong menggunakan sandal ketika ke kampus saja ada (bukan karena
kakinya sakit). Apabila ditegur oleh sesorang mereka akan berkata apa
hubungannya penampilan ataupun aturan dengan kebijaksanaan. Mahasiswa seperti
ini sudah menganggap yang dilakukannya itu sesuatu yang benar dan bijaksana
sehingga tidak perlu mengikuti aturan yang dibuat orang lain. Kesannya mereka
menjadi kaum sophist di fakultas
filsafat.
Kesimpulan saya dapat peroleh dari tipe-tipe tersebut
bahwa mahasiswa filsafat masih belum mampu menempatkan diri mereka di dalam masyarakat
umum dan masih berkutat dalam masalah-masalah yang sama. Hal ini berbeda sekali
dengan Socrates yang ketika berbicara dengan ahli hukum akan berbicara tentang
keadilan sedangkan mahasiswa filsafat mungkin akan berbicara mengenai kajian
metafisis dari hukum. Dilihat dari mahsiswa filsafat sendiri yang masih jauh
dari apa yang disebut kebijaksanaan timbul pertanyaan apakah kebijaksanaan bisa
didapatkan oleh manusia?
Beberapa orang termasuk saya sendiri beranggapan bahwa
apa yang disebut kebijaksanaan sulit untuk dicapai manusia dan bahkan cenderung
mustahil sehingga muncul pernyataan krbijaksanaan hanya milik Tuhan. Dari
pernyataan tersebut muncul lagi suatu pertanyaan Tuhan yang seperti apakah yang
disebut bijaksana? Empedokles mengkritik mengenai pemahaman Tuhan (Dewa) yang
ada pada bangsa Yunani saat itu. Pada saat itu para Dewa digambarkan melakukan
perzinaan, pencurian, dan penipuan satu sama lain. Dewa digambarkan sesuai
kehidupan mereka saat itu. Sehingga dapat dikatakan Tuhan yang memiliki kebijaksanaan
adalah Tuhan yang universal yang menguasai segala sesuatu.
Dari pernyataan di atas timbul pertanyaan lagi kalau
memang hanya Tuhan yang memiliki kebijakasanaan, terus apa yang dicari oleh
filsuf dan orang-orang yang berkecimpung di dunia filsafat termasuk mahasiswa
filsafat? Kenapa mereka mencari sesuatu yang jelas mereka tidak bisa dapatkan? Jawaban
dari pertanyaan itu sampai saat ini saya akui belum saya dapatkan. Saya sendiri
masih bingung mengapa para filsuf berfilsafat dan kenapa dinamakan filsafat
kalau memang kebijakasanaan tidak dapat ditemukan dalam diri manusia. Sehingga
yang dapat saya simpulkan mungkin yang menjadi inti dari filsafat itu bukanlah
tujuan akhir (kebijaksanaan) melainkan kegiatan berfilsafat itu sendiri yang
menjadi objek utama dalam filsafat.
DAFTAR
PUSTAKA
Salam, Burhanudin. 2012. Pengantar Filsafat. Bumi Aksara: Jakarta
makasih infonya,,
ReplyDeleteterimakasih ka, bermanfaat banget infonya, kk bijaksana he....
ReplyDelete